Sastra




IBU
Karya: BariklyMazidah
To: Ibuku Sayang........
Kau Yang telah menjagaku setiap waktu
Kaujuga yang telah mempertaruhkan nyawamu demi aku
Kau juga yang sudah berkorban demi kebahagiaanku
Tapi aku yang tak menyadari tentang semua ini
Aku tidak tau diri dan aku terlalu Egois dengan kebahagiaanku
Dan saat in aku mulai merasakan tentang semua yang telah kau korbankan demi aku
Begitu menyesalnya diriku yang telah berbuat buruk melalui sikap dan perkataanku
Oh……Ibu Maafkanlah Semua Kesalahan dan ketidaksadaranku tentang semua yang telah kau lakukan demi kebahagiaanku
Aku akan berusaha membuat bahagia ibu
Dan aku tau engkau adl sebagian dari detak jantungku
Jika ibu tau setiap ibu marah serasa jantungkuberhenti seketika …
Ibu aku harap ibu akan selalu berada di samping ku dan tak akan pernah meninggalkanku.

I LOVE YOU IBU……….




Kupu-Kupu Malam
                                                                                                            Karya: Siti Nor Azizah

     Malam ini angin bersedir
     Menusuk celah-celah kulitku
     Membuatku merinding
     Akan dirinya.
                                                       Dia yang penuh cahaya terang
                                                       Kini terselimuti awan gelap
                                                       Yang menjerumuskannya
                                                        Pada gemerlap dunia malam
     Dulu gadis polos nan anggun
     Kini menjadi kupu-kupu malam
     Yang terbang manis
     Mencari rayuan
                                                               Robby. . . . . . . .
                                                               Kuhanya bisa pasrah
                                                                 Dan ku hanya bisa menengadah
                                                                Semoga aku selalu kau lindungi



Karya : Elvira khusnun nisa



                              Al-Qur`an Terindah

Al-Qur`an
Engkaulah cahaya dalam hidupku
Engkau terangi langkah’’ ku
Engkau tuntun aku menuju surgamu
Alunan –alunan ayat-ayatmu
Menenangkan sanubariku
Al-Qur`an
Engkaulah panutan dalam hidupku
Firman-firman yang terdapat dalam kitabmu
Sangatlah berarti dalam hidupku
Engkaulah yang terindah

EDISI 8


Pergaulan Bebas
Karya : Siti Rahmawati
Gemuruh  suara motor
Terdengar di batang telingaku
Dari terbit sampai hilangnya matahari
Entah apa yang di buat
Aku tak tahu..!!

Mereka berkumpul di sebuah gubuk
Dimana ada batang rokok dan batang rokok berserakan
Mungkin mereka mengkonsumsinya
Darimana mereka mendapatkannya?

Satu per satu mereka datang
dari Usia muda sampai Lanjut usia
Mereka tidak sekolah
Tidak berpendidikan
Moral mereka Hancur

Dimanakah Orang Tuanya
Dimanakah tanggung jawabnya
Dimanakah penyesalannya
Atas apa yang ia perbuat

EDISI 9
 




Cerpen
Sumber: retnodinii.blogspot.com

Hari yang berbeda dari biasanya.  Mama dan papa tidak ada di rumah. Di rumah hanya ada aku, Kak Dinda dan bibi.“Adek, ayo sarapan. Makanannya udah ada di meja tuh”
“Iya kakak…”
Saat di meja makan, “Kak, mama sama papa dimana?”, “Kata bibi tadi pagi, mama dan papa ke luar kota” jawab kak Dinda.
Akhir-akhir ini mama dan papa jarang di rumah. Biasanya tiap pagi aku dan kak Dinda mau berangkat sekolah, pasti ada kecupan manis dari mama. Dan kali ini, jauh berbeda.
“Dzzzz…”, tiba-tiba ponsel Kak Dinda bergetar, ternyata ada SMS dari abang Vian,
“Dek Dinda dan Dek Sela, maaf ya hari ni abang G bisa anter kalian ke school. Coz, abang lg ada            acara    nih            dikampus.        Sorry   ya        mendadak”
“Okee  bang,   nggak  papa.”, balasku.
“Kali ini kita jalan kaki yah, gak apa apa kan Dek? soalnya Bang Vian lagi ada acara,” kata Kak Dinda
.
“It’s okey Kak. Sesekali jalan kaki ke sekolah. Kan nggak jauh jauh amat”, jawabku. Sembari berjalan, aku ngobrol-ngobrol dengan kak Dinda, “Kak, mama sama papa udah gak sayang sama kita ya?” tanyaku.“Hus! Adek kok tanya gitu sih? Gak boleh ah!, kakak gak suka.”Jawabnya.
“Tuh buktinya, mereka jarang banget kumpul sama kita. Aku Cuma pengen kita itu kayak dulu kak. Lihat TV bareng, jalan jalan bareng. Lah sekarang?”, “Jangan negatif thinking lah, mungkin itu perasaan adek aja. Udah lah dek, tenang aja. Kan di sini masih ada kakak..” jawabnya. Pulang sekolah, aku dan Kak Dinda
mampir ke rumah kakek.“Assalamualaikum.. kakek..”,“Kak, kok gak ada yang jawab?Tumben?”kataku.Pas kita masuk ke dalam rumah kakek, ternyata ada suara mama di dalam sedang berbincang dengan kakek.Wajah mama juga terlihat merah.“Lhoh, mama kok di sini?Ada apa Ma? Mama nangis?”tanyaku kebigungan.“Nggak papa kok sayang, mama cuma mampir aja di rumah kakek,” jawab mama tersenyum kecil.Mama berusaha menutupinya.Di situ, aku mulai bingung.Aku makin penasaran apa yang sebenarnya terjadi. “Kakek.. kalau Sela boleh tau nih, mama sama papa itu kenapa sih kok jarang di rumah?”, “Banyak kerjaan mungkin Sel, jadi jarang di rumah.” Jawab      kakek   singkat.
“Nah lho, tadi buktinya mama ada di rumah kakek. Kakek bohong ya? Bohong dosa loh Kek. Kakek kan baik.. yah Kek yah.. kasih tau ke
Sela.”ucapku merayu lagi.Kakek hanya terdiam layak mulutnya terkunci.
Pagi ini, saudara ku dari palembang datang ke sini. Aku tidak tau tujuan mereka ke sini. Entah silaturahmi atau sekedar berlibur. Pastinya hari ini ada mama dan papa. Dalam hati aku mulai tersenyum.Di ruang tamu, aku mendengar mama berkata seperti ini,“Orang tua kandung Dinda meminta untuk ngembaliin Dinda ke tangan mereka.Padahal waktu itu mereka sudah berjanji pada ku kalau Dinda selamanya padaku. Aku juga takut, kalau Dinda tidak mau menerima keadaan yangsebenarnya.
” Mendengar kata-kata mama, aku kaget bukan kepalang. Hatiku mulai remuk perlahan. Ternyata Kak Dinda, kakak yang paling kusayang adalah kakak angkatku. Langsung saja ku peluk bibi dengan erat. Dari situ aku mulai meneteskan air mata. tiba tiba saja hidungku mengeluarkan darah yang cukup banyak. Sesegera aku di bawa ke rumah sakit oleh mama dan papa. Kulihat wajah kak Dinda di sampingku..keadaanku semakin tidak stabil, dokter menyarankan untuk rawat Inap dengan pemeriksaan lebih lanjut. Kak Dinda selalu menemaniku. pancaran kasih tulusnya.
Tiga hari berlalu. Tinggal tunggu hasil tes dari dokter. Dokter mengatakan ternyata aku di vonis penyakit kanker darah atau leukimia. Aku butuh sumsum tulang belakang, demi nyawa dan kesembuhanku. Hasil tes laboratorium mama dan papa, hasilnya tidak cocok. keduanya hanya meneteskan air mata seraya memohon agar ada yang menyumbangkan sumsum tulang belakang untukku.
Keesokan harinya, dokter menemukan sumsum tulang belakang yang cocok untukku.
Alhamdulillah, operasi lancar dan sukses. Aku di pindahkan ke ruang rawat Inap. saat aku terbangun dari obat bius, aku melihat di ruangan itu ada mama dan papa. Mereka sontak tersenyum melihatku sadar.“Ma.. Pa.. aku pengen, kita kayak dulu.. kumpul bareng, nonton TV bareng, jalan-jalan bareng sama mama, papa dan Kak Dinda juga..” kataku, meneteskan air mata.“Iya sayang.. maafin mama sama papa yah. kita janji, akan selalu jagain Sela kapan pun yang Sela mau..” jawab mama juga
meneskan air mata.“Ma, Pa.. Kak Dinda mana?” tanya Ku“Kak Dinda..”, mama dan papa terdiam, aku juga bingung kenapa mereka tidak menjawab pertanyaanku.Aku mencoba bertanya ke siapapun, tetapi keadaanku masih belum stabil. Aku harus istirahat total, dan terbaring di kamar inap.
“Dek Sela.. maaf ya, abang baru bisa jenguk kamu sekarang.Lagi banyak tugas di kampus. Hehehe.”sapa             Bang    Vian    mengejutkanku
“Kak Dinda kemana? Selama aku di operasi dia nggak nemenin aku…”Bang Vian Cuma diam     gak      jelas.
“Bang, jawab pertanyaanku!” paksaku.“Andai saja kamu tau apa yang sebenarnya terjadi.”Ku lihat wajah Bang Vian mulai memerah, dan air matanya bercucuran.“Memangnya, apa yang sebenernya terjadi?”.
“Dinda komplikasi dan kekurangan darah pasca operasi. Sekarang, dia.. sudah berada di surga. dan sebelum operasi,Dinda menitipkan surat untukmu. ”Sela, adikku sayang Dalam pelukmu, ku dapatkan sejuta kehangatan. Dalam matamu, ku dapatkan sejuta keindahan. Lilin-lilin di hatimu, selalu memubuat kehangatan tersendiri bagiku. Andai saja, waktu bisa berputar.
Aku tidak akan menyia-nyiakan masa lalu itu. akan Ku petik setiap keindahan yang ada, dan ku simpan baik-baik     dalam hati      ini,
Walaupun aku hanya kakak angkat mu, dirimu selalu ada di sampingku. Tak pernah ada kata benci dalam mulutmu. Tak ada kata malu dalam perasaanmu. Aku rela akan selalu menjagamu, hingga akhir masa-masa hidupku. Aku rela apa yang dirimu butuhkan, ku berikan pada dirimu.Aku akan tersenyum,bila kau mendapatkannya.
Terakhir, Jaga mama dan        papa     baik-baik,        jaga      mereka             layaknya          aku menjagamu.
Dalam tidurku, ku akan selalu mengingatmu.
Dinda
tanpa henti, aku meneteskan air mata.
Dalam hati aku menjawab,“kakak akan selalu di dalam diriku. Aku akan menjaganya baik-baik.
Sekarang, aku merasakan bahagiamu di alam sana. Aku yakin, suatu saat kita pasti akan bertemu di surga nanti bersama mama dan papa.”

EDISI 10


“Mata Yang Sama”
Sumber: http://cerpenmu.com
Pagi itu, aku datang dengan terburu-buru. Sampai di kelas, aku buka pintu yang tertutup rapat itu. Dan… BOOOM. Kelas masih kosong. Ah sial, ku pikir sudah terlambat, begitu kiranya hatiku berbicara. Segeralah aku duduk di tempat dudukku yang memang dekat dengan pintu.
 Berselang beberapa menit, kelas telah mulai ramai oleh beberapa siswa yang melakukan piket dan sisanya mengerjakan PR, hmm miris. Jujur aku sudah berhenti dari pekerjaan itu, tapi kalau belum mengerti aku sering menanyakannya pada teman yang lebih cerdas. Maklumlah, aku kan murid golongan biasa yang IQ-nya standar. Jam pelajaran pertama telah dimulai. Pintu yang tertutup rapat itu kemudian dibuka dari luar, masuklah wali kelasku diikuti seorang anak lelaki bermata agak cokelat (wow, aku teliti sekali). “Perkenalkan saya Arisma Hendrawan, biasa dipanggil Hendra. Saya pindahan dari Jawa.”
Walikelasku kemudian mempersilakan teman yang lain untuk bertanya mengenai Hendra. Banyak yang bertanya. Terkadang pula terdengar kocak, Hendra pun menjawabnya dengan bahasa santai yang juga kocak. Walikelasku kemudian memintanya untuk duduk di belakangku karena bangku itu masih kosong, takut ada penunggunya.
Pelajaran pun dilanjutkan seperti biasa. Kemudian guruku itu meminta untuk membentuk kelompok yang terdiri dari 4 orang. Seperti biasa, kami sekelas mencari teman yang dekat dari tempat duduk. Dan akhirnya kelompokku terdiri dari aku, Eka, Agung, dan Hendra. Kami pun mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru.
Sesekali aku melirik mata milik Hendra itu. Seperti pernah mengenal mata itu. Hendra kemudian menatapku, aku kaget kemudian memalingkan wajahku ini ke hadapan Eka. Sepulang sekolah, hujan turun lagi. Kali ini cukup deras. Tapi aku tak memikirkan hujan. Sebaliknya aku malah memikirkan mata milik Hendra. Seperti milik… DAAARR, sebuah teriakan mengagetkanku. “Ciee, yang kaget.” kata Hendra dengan senyum puasnya.“Puas dah tuh?” kataku.
“Iyalah, betewe kamu kok masih di sini, gak pulang nih?” tanyanya.“Ya pulanglah. Lagian kan masih hujan.” jawabku.“Yaelah, sama hujan aja takut.” katanya.“Bukannya takut, tapi kan…”
“Aku pulang duluan yaa.” potongnya sambil berlari menembus kerumunan air hujan.
Dan seketika aku mengingatnya. Hendra mirip seperti Andra, teman semasa kecilku dulu. Terakhir kali kami bertemu, kami baru kelas lima SD. Saat itu ia pindah rumah ke Malang, karena ayahnya dipindah tugaskan. Sebelum pindah rumah, aku dan Andra sering sekali bermain bersama, bahkan hujan-hujanan hingga telinga kami dijewer oleh ibu masing-masing. Kenangan yang tidak bisa dilupakan. Perlahan hujan telah mulai reda, aku segera pulang ke rumah dan menceritakan tentang teman baruku itu.
Setibanya di rumah, ku masuki ruang kecil milikku untuk mengganti seragam sekolahku dengan pakaian rumah yang lebih santai. Seusai itu, itu aku mencari ibuku yang ternyata sedang memasak di dapur.
“Ibu…” kataku dengan manja, maklumlah aku kan anak bungsu.“Kenapa sayang?” jawab ibuku dengan lembut.“Ibu inget gak sama Andra?” tanyaku.“Andra siapa?” tanya balik ibuku sambil memotong sayuran.“Itu loh Bu, anaknya Pak Ngurah sama Bu Dewi, tetangga kita dulu.” perjelasku.“Oh anak yang nakal itu, yang metik rambutan dulu baru minta izin?” tanya Ibuku.
“Ih Ibu, sampai yang kayak gitu diingat.” cetusku.
“Bener kan? Emang dia kenapa?” tanya Ibuku.
“Iya sih bener. Aku cuma lagi kepikiran aja. Habisnya ada murid baru di kelasku, mirip banget sama dia tahu Bu.” kataku. “Oh iya, kira-kira kabarnya Andra gimana ya?” lanjutku. Ibuku sontak terdiam. Lantas Ibuku membalikkan badan dengan sayur dan pisau yang masih digenggam.
“Emang kamu gak tahu ya?” tanya Ibuku.
“Tahu apa Bu?” tanyaku yang memang tidak tahu apa-apa.Ibuku mendekatiku, dan berkata, “An….”
“Bu itu pisau sama sayurnya ditaruh dulu. Serem Bu.” potongku. Dengan wajah kecewa, ibuku meletakkan sayur dan pisaunya di atas talenan. Kemudian kembali mendekatiku. “Andra itu sebenarnya udah meninggal setahun yang lalu, dan minggu depan bakal di-aben-in.” kata ibuku. “Hah setahun yang lalu?! Kok aku gak tahu sih Bu?” tanyaku. “Waktu itu kamu kan lagi kemah sama temen-temen kamu. Ibu juga lupa ngasih tahunya.”Maafin Ibu ya.” jelasIbuku. “iya deh Bu. Aku mau ke kamar dulu.” jawabku sambil menuju ke istana kecilku.
Di dalam sana aku tak habis pikir. Aku mencoba untuk melupakan tentang Andra dengan membaca buku, mendengarkan musik, bahkan bermain game cat mario. Itu pun belum bisa membuatku menjauhkan pikiran tentang  Andra. Sampai saat sore tiba,

Ibuku memintaku untuk mengantarnya ke rumah Pak Ngurah, keluarga Andra yang ada di ujung desa.Segeralah aku mandi dan mengenakan pakaian adat madya. Kemudian ku starter motor di halaman rumah. Kemudian Ibuku ke luar sambil membawa sokasi berisi beras, kain, dan dupa yang akan diberikan kepada keluarga yang berduka, Keluarga Pak Ngurah. Ku bonceng ibuku dengan mengendarai motor matic ini menuju ke rumah pak Ngurah. Sesampai di sana, ku parkir motor di sebelah selatan gerbang rumah Pak Ngurah. Aku masuk dengan mengikuti langkah ibuku. Di sana tanpa sengaja ku lihat seorang anak lelaki yang sudah tak asing lagi.
“Oiya itu Hendra, sedang apa dia di sini?” pikirku. Aku lantas melangkah menuju ke arah Hendra. Namun langkahku terhenti oleh genggaman tangan seorang wanita.“Kamu mau ke mana?” tanya Ibuku.“Mau ketemu temen, Bu di sana. Bentar aja.” kataku.“Jangan lama ya.” jawab Ibuku sambil melepas genggaman tangannya. Aku kemudian melanjutkan langkahku ke arah Hendra. “Hendra!!”begitu panggilku.“Eh Ayu, kamu ngapain di sini?” tanyanya.“Hei, harusnya aku yang nanya kayak gitu.” cetusku.“Oh iya ya.” jawabnya.
“Jadi kamu ngapain di sini?” tanyaku.
“Oh aku ke sini buat ikut bantuin keluarganya Pak Ngurah sebagai rasa terima kasihku.” jawabnya.
“Rasa terima kasih?” cetusku bingung.
“Iya. Jadi sebenarnya kornea mataku itu rusak dan itu bikin aku gak bisa lihat. Anak Pak Ngurah itu yang mendonorkan matanya buat aku sebelum dia meninggal. Aku bersyukur banget.” jawabnya.
“Maksudmu Andra?” tanyaku ragu. Hendra mengangguk dengan yakin.
Saat itu aku sadar. Pantas saja mata itu tak asing lagi untukku. Mata yang sama yang menemaniku bermain hujan. Mata yang sama yang menjadi saksi jeweran ibu yang mendarat di telingaku. Meskipun pemilik asli mata itu telah tiada. Tapi mata itu akan mengingatkanku padamu, Andra.


















Tidak ada komentar:

Posting Komentar